November 5, 2018

Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest



Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait dengan manajemen konflik relasional. Ada suatu pertanyaan yang sama-sama menarik perhatian kami "dalam kondisi konflik (misal: kesalahpahaman, pertengkaran), mana yang dipilih - menyelesaikan konflik dalam diri terlebih dahulu kemudian menyelesaikan konflik secara bersama-sama; atau menyelesaikannya langsung bersama-sama". Untuk tiap opsi di atas, ada konsekuensi positif dan negatifnya.

Opsi pertama [self healing lalu group healing] mengandung konsekuensi positif dengan cara memberikan waktu tenang bagi masing-masing pihak untuk menata ulang pikirannya. Waktu ini juga bisa digunakan untuk meredam emosi, agar masing-masing tidak saling menyakiti secara verbal. Namun, di sisi lain, konsekuensinya adalah penarikan diri (self withdrawal) oleh salah satu pihak atau bahkan keduanya. Jika salah satu pasangan merasa bahwa dia membutuhkan bantuan/ kehadiran (presence), namun si pasangan satunya memilih untuk  self-healing, tentu saja pihak yang membutuhkan bantuan merasa diabaikan atau bahkan ditinggalkan. Hal ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi salah satu pihak, misalnya perasaan tidak didengarkan, tidak diindahkan, tidak diperhatikan, dan seterusnya. Selain itu, waktu resolusi konflik juga biasanya lebih lama, sehingga bisa jadi menimbulkan impresi seperti trauma.

Opsi kedua [group healing] juga memiliki kelemahan dan keunggulannya. Kelemahannya adalah, kedua belah pihak bisa jadi dalam kondisi emosional yang memanas. Dalam situasi yang tidak kondusif seperti ini, kedua belah pihak bisa jadi melontarkan perkataan yang menyakitkan hati, saling menyerang, saling membenarkan pendapat pribadinya masing-masing, dan saling membela diri. Tidak jarang, strategi ini terlihat seperti pertengkaran atau bahkan percekcokan.

Namun, opsi ini bisa jadi memiliki sisi positif. Di antaranya, waktu penyelesaian konflik bisa lebih cepat, karena segala emosi segera termuntahkan di saat yang sama, sehingga masing-masing bisa segera merasa lega. Tidak ada penundaan resolusi konflik juga bisa mengurangi beban pikiran bagi kedua orang yang terlibat. Hal positif lainnya adalah pemahaman mengenai warna emosi pasangan dan ekspresi dari emosi negatifnya. Ini penting bagi penyelesaian konflik ke depan, untuk menghindari topik yang tidak produktif dalam diskusi.

Kembali ke percakapan saya tadi, sahabat saya ini cenderung untuk menarik diri dan 'mengisi baterai' nya sendiri ketika ada konflik dengan pasangannya. Walhasil, pasangan dia semakin marah dan kesal karena si partner terkesan egois, membuat diri sendiri merasa nyaman namun di saat lain membuat pasangannya merasa tidak nyaman.

Menariknya, sahabat saya ini menggunakan justifikasi metaforik masker oksigen. Di pesawat, ketika ada kondisi darurat, seseorang diminta memakai masker oksigen untuk dirinya sendiri sebelum dia memasangkan masker oksigen untuk orang lain [kendatipun itu anaknya sendiri]. Bagi sahabat saya ini, dia tidak bisa membantu partnernya untuk merasa lebih baik [feeling better] ketika dia sendiri sedang kacau pikiran dan perasaannya. Pandangan ini tentu saja memiliki validitasnya sendiri, bahwa seseorang tidak bisa membantu orang lain tatkala dirinya sendiri sedang dalam kondisi kritis.

Sehari setelah percakapan itu, saya terpikirkan lagi metafora ini, sekaligus menyimpan beberapa pertanyaan di dalam hati. Apakah metafora ini bisa digunakan dalam hubungan relasional misalnya antara suami dan istri, orang tua dan anak, dan seterusnya? Kondisi seperti apa yang bisa diartikan sebagai 'darurat' sehingga seseorang harus menyelamatkan dirinya sendiri dulu baru orang lain? Berapa lama seseorang dianggap sudah 'aman' sehingga mampu membantu orang lain? Apakah ada 'blind spot' dari metafora ini jika diaplikasikan pada hubungan romantik atau familial? Adakah posisi 'sharing is caring' dalam metafora ini, jika ada, bagaimana relasinya?

Saya pribadi, jika dihadapkan dalam kondisi konflik seperti di atas, mungkin akan memilih untuk membicarakannya seketika. Saya tidak suka meredam sesuatu dan menjadi beban pikiran. Memang pada saat kritis, saya tidak bisa menjadi diri saya yang terbaik. Namun, bisa jadi pasangan saya tidak membutuhkan versi terbaik dari saya, bukan? Bisa jadi dia hanya butuh saya ada dan hadir. Bisa jadi dengan hadir itu, justru menjadi suntikan energi bagi pasangan saya, ada semacam assurance dan acknowledgement bahwa dia penting, bahwa masalah dia adalah masalah saya juga, bahwa saya mau bersama-sama berproses agar saya dan dia sama-sama tenang dan menenangkan satu sama lain.

Saya tidak suka menunda, tak apa tak jadi yang terbaik, asal jangan saling meninggalkan.



November 1, 2018

Memantul

Bulan ini adalah bulan yang berat bagi saya. Saya memasuki tahun ketiga studi doktoral saya di Australia dan memasuki fase penulisan disertasi. Seharusnya sih, semuanya bisa agak lebih lancar, mengingat data analisis sudah terlampaui, coding sudah selesai, outline disertasi sudah sesuai hasil analisis, dan seterusnya.

Dua tahun bergelut dengan satu hal yakni riset dan disertasi, membuat saya merasa terasing dengan identitas saya sebelum studi, yakni pengajar di kampus. Bagaimana tidak, dua tahun penuh meninggalkan segala dinamika mengajar, meneliti, mengabdi pada masyarakat demi studi S-3 ini.

Harusnya, simpel, mudah dan cepat, kan? Toh saya di Australia tinggal sendiri. Ternyata tidak.

Ada sisi non akademis yang menantang, yang membuat diri menjadi sangat ragu dan kecil hati. Namanya, impostor syndrome. Sindrom ini kurang lebih artinya adalah kondisi psikologis dimana seseorang merasa kurang layak mencapai sesuatu, merasa kurang atau bahkan tidak mampu melakukan pencapaian tertentu.

Studi S-3 biasanya berlangsung hingga empat tahun. Namun, saya membuat target pribadi untuk bisa submit pada akhir tahun ke-3 yakni Juli 2019. Di tengah perjalanan ini, tiba-tiba ada perasaan yang mengganjal yang dipicu oleh sebuah obrolan dengan  mentor saya yang ndilalah sudah profesor duluan.

Suatu saat kami mengobrol di telepon, ya saya biasa lah curhat masalah pembimbing saya, lalu membahas substansi bahasan disertasi saya. Di tengah percakapan, beliau menanyakan beberapa pertanyaan yang belum bisa saya jawab - terkait apa pentingnya dan distingtifnya disertasi saya ini nantinya.

Obrolan tersebut beralih ke hal lain terkait kondisi di tanah air. Namun, saya tidak bisa tidur setelahnya. Berbagai pertanyaan menggelayut di kepala: bagaimana jika ternyata riset saya ini tidak menyumbangkan signifikansi apa-apa pada teori terkini? bagaimana jika ternyata bab demi bab yang saya susun ini kurang bisa membunyikan argumen pokok dari disertasi?

Semakin lama, pertanyaan-pertanyaan ini semakin menukik. Bagaimana jika ternyata saya tidak bisa menjadi scholar atau akademisi yang mumpuni? Bagaimana jika ternyata saya nantinya tidak bisa sekelas/sepadan dengan sosok-sosok mentor yang saya kagumi sejak S-1 dulu? Bagaimana jika saya nantinya hanya akan jadi medioker?

Perasaan tidak nyaman ini berlangsung seharian, hingga saya memaksakan diri untuk pergi ke graduate office dimana para mahasiswa S-3 punya work station nya masing-masing. Saya masih merasa down dari obrolan semalam. Saya duduk saja, membaca-baca jurnal ilmiah yang berasa seperti tulisan mati, mengetik-ketik apa saja yang bisa saya ketik, mereview satu paper yang kawan saya kirimkan siang tadi untuk tugas akhir Masternya, dan tentunya, membalasi whatsapp dari keluarga di Indonesia.

Saya berkata dalam hati "Gusti Allah.. Hamba yakin kalau hamba bisa melewati ujian studi ini. Mohon sabarkan hamba dalam prosesnya. If you put me to it, you will put me through it"

Saya panjatkan istighfar sebanyak-banyaknya, memohon ampun jika saya dzalim terhadap diri sendiri dengan overthinking, saya memohon ampun jika saya banyak menggunakan waktu untuk hal-hal yang kurang relevan dengan studi, saya memohon ampun jika saya kurang bersyukur dengan progress disertasi meskipun sepertinya melambat.

Lalu saya panjatkan Hamdalah sebanyak-banyaknya, mengingat nikmat-nikmat yang sudah saya nikmati namun banyak yang tidak disadari dan dimaknai. Nikmat waktu luang untuk belajar dan berjejaring, nikmat ruang belajar yang bisa dimanfaatkan kapan saja, nikmat fasilitas kampus dan perpustakaan daring yang tak terbatas, nikmat sendirian sehingga harusnya bisa lebih fokus dan minim distraksi.

Akhirnya, saya panjatkan Allaahuakbar sebanyak-banyaknya, menyadari betapa kecilnya pengetahuan saya akan ilmu yang maha luas, betapa kecilnya saya di antara ribuan jutaan ilmuwan di luar sana yang lebih mumpuni dari saya, betapa kecilnya keahlian saya dibandingkan dengan profesor-profesor lain di belahan bumi lain. Saya merasa kecil, saya merasa bodoh. Sehingga saya harus belajar, saya harus terus meneliti. Agar saya tidak terus-terusan bodoh.

Sebelum waktu maghrib, handphone saya bergetar. Sebuah pesan Whatsapp masuk dari seorang profesor yang saya kenal baik di Malaysia. Beliau ini juga leading editor dari sebuah jurnal ilmiah yang terindeks Scopus.

Pesan Whatsapp tersebut singkat dan padat, diawali dengan menanyakan kabar, kapan saya selesai kuliah, dan apakah saya berminat untuk mengirim artikel ke jurnal yang dia kelola, dengan fasilitas fast track alias dibantu dipercepat.

Saya ndrodog. Saya terharu. Saya lemes. Dan saya berbisik "Gusti..Panjenengan maha baik. Saya baru sedikit merasa down, Panjenengan sudah naikkan lagi dengan cepat."

Hari ini, saya terselamatkan oleh tawaran baik ini. Semoga saya bisa menyiapkan naskah dalam jangka waktu satu bulan ke depan.

It is okay to fall down. But when you fall, bounce back.

November 6, 2017

LOMBA BACA PUISI TITI KALA MANGSA - ARNIS SILVIA



Dalam rangka tasyakuran launching buku kumpulan puisi Titi Kala Mangsa (penerbit AE Publishing), penulis mau memberikan sayembara Giveaway buku TiKam khusus untuk 5 orang yang beruntung. 

Apa isi sayembaranya?
Peserta sayembara diharapkan membuat video pembacaan puisi dengan iringan musik (musikalisasi puisi)
Contoh videonya bisa dilihat di sini, atau di sini.


Apa saja ketentuan videonya?
  1. Membacakan 1 dari 5 puisi di Buku Titi Kala Mangsa. Pilihan puisinya di sini
  2. Durasi maksimal video 2 menit
  3. Video boleh menampilkan person (wajah pembaca puisi), boleh juga hanya lirik dengan voice over (dubbing). 
  4. Pembacaan puisi diiringi instrumen musik, baik dimainkan sendiri maupun instrumen dari lagu lain (jangan lupa sebutkan di dalam credit title)
  5. Video menyebutkan judul puisi dan nama pengarang. Misal: Pada suatu mangsa, puisi karya Arnis Silvia. 
  6. Sertakan credit title: penulis puisi, judul buku, voice over, editing, dsb. 
  7. Video diupload di instagram dan dishare di Twitter dan FB. 
  8. Gunakan hashtag: #titikalamangsa #arnissilvia #lombabacapuisi #aepublishing 
  9. Wajib ngetag: @arnissilvia @titi_kalamangsa @aepublishing dan lima teman Instagram kalian yang suka puisi 


What will you get?

  • 1 copy of Titi Kala Mangsa dengan ttd asli dan quote special dari penulis
  • 1 e-certificate sebagai pemenang lomba sayembara 
  • Dimention di blog pribadi dan social media penulis

Info lebih lengkap?

Hubungi PJ acara di 0895382500710 (telp only) or 085649752527 (wa only) dengan mbak Silvi. 

Deadline

Video terakhir diterima pada 19 November 2017. 
Pengumuman pemenang 23 November 2017. 


PUISI PILIHAN UNTUK SAYEMBARA BACA PUISI TITI KALA MANGSA



Halo semuanya. Berikut lima puisi pilihan yang dilombakan.

Pilihan 1. Judul Puisi "Mercusuar"(halaman 69)

Aku mencintaimu seperti suar
menancap kuat dan dalam
tak goyah oleh angin dan hujan

Aku mencarimu seperti suar
di antara gelapnya kehilangan
sinyalku membelah harapan

Aku melindungimu seperti suar
ku tunjuk tajamnya karang
agar luka tak buat kau tumbang

Aku merinduimu seperti suar
melambaimu dari kejauhan
memanggilmu tuk pulang


Pilihan 2. Judul Puisi "Tak ada merdeka di kota" (halaman 49)

Di kota, tak ada yang merdeka
Matahari disekap
ditutup matanya
sebelum sempat terbuka

Di kota, tak ada yang merdeka
Udara diperkosa
hilang sucinya
tinggal karbon dioksida

Di kota, tak ada yang merdeka
Waktu sudah disandera
dalam halte-halte sesak
dalam jalan tanpa celah

Di kota, tak ada yang merdeka
Anak sekolah disiksa oleh angka
para pekerja dikejar uang belanja
dosen dijejali ranking kelas dunia

Di kota, tak ada yang merdeka
Tak pula tidur malamnya
esok cari lagi pundi rupiah
untuk perut-perut yang ada di rumah

Di kota, orang mengibarkan bendera
merah tandanya berani bak ksatria
putih tandanya murni cintanya

Kami semua adalah ksatria
tanpa senjata melawan

musuh tak kasat mata.

Pilihan 3. Puisi berjudul "Di Bawah Cuaca"

Pada sebuah mangsa
Senja memisah kata dan rasa
Benang jarak menjulur jeda
Bersama masa berpisah raga

Tatkala ruang semakin jarang
Hati meregang menahan lengang
Jikala masa merangkul rana
Jiwa menggigil di bawah cuaca.

Pilihan 4. Puisi berjudul "Aku ingin" (halaman 3)

Aku ingin mencintaimu dalam diam
sebab dalam diam tak ada kesepian

Aku ingin mencintaimu dalam sepi
sebab dalam sepi tak ada yang tersakiti

Aku ingin mencintaimu tanpa harapan
sebab harapan terbitkan kekecewaan

Aku ingin mencintaimu sesempatku
dengan begitu aku tak perlu menunggu

Aku ingin mencintaimu hari ini
sebab esok hari masih misteri.

Pilihan 5. Puisi berjudul "Tanya pada langit" (hal.28)

Tanyakan arti kesediaan
Pada langit pagi yang menawan
bangun pagi demi mengawal
sang mentari yang buru-buru datang.

Tanyakan arti kekuatan
pada langit siang yang terik
pada langit tua yang semakin menipis
pada troposfer yang tak pernah menangis.

Tanyakan arti keindahan
pada langit sore yang menakjubkan
mentari dia antar pulang
dengan jingga sejuk pandang

Tanyakan arti rindu pada langit malam,
yang merangkum hari dalam kelam,
yang menyulut bintang gemintang,
yang mengundang rindu dendam.

Good luck ya!! Kirimkan videografi terbaik kalian!! 


Masker Oksigen

photo from: Reader's Digest Akhir-akhir ini, saya terlibat pembicaraan yang lumayan mendalam dengan sahabat karib saya terkait deng...